Pasangan mata uang GBP/USD menorehkan kenaikan tiga hari beruntun, serta sempat menyentuh rekor tertinggi satu bulan pada level 1.2667 dalam perdagangan hari Jumat (27/5/2022). Menteri Keuangan Inggris mengumumkan rencana pembagian subsidi tunai, sehingga mendongkrak proyeksi pertumbuhan, inflasi, dan suku bunga Inggris.
Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak mengumumkan akan membagian dana tunai senilai total GBP15 miliar bagi 8.4 juta rumah tangga yang membutuhkan dalam beberapa pekan ke depan. Setiap rumah tangga akan mendapatkan kiriman dana sekitar GBP650 ke dalam rekening mereka.
Sunak mengakui bahwa kebijakan tersebut kemungkinan bakal memperkuat kenaikan laju inflasi. Namun, ia meyakini kenaikan dorongan inflasi tersebut “dapat dikendalikan”.
Sebagian analis menyambut baik kebijakan pemerintah Inggris tersebut. Subsidi tunai tersebut akan mengurangi tekanan biaya hidup bagi masyarakat, sedangkan kenaikan inflasi yang ditimbulkannya bakal mendesak bank sentral Inggris (BoE) untuk menaikkan suku bunga lagi.
Capital Economics memperkirakan pertumbuhan PDB Inggris akan menguat hingga 0.2-0.3 persen, sedangkan risiko resesi bakal berkurang. Apabila tak ada masalah lain, stimulus fiskal tersebut juga akan mendorong kenaikan inflasi hingga BoE harus menaikkan suku bunga dari 1.0 persen saat ini menjadi 3.0 persen pada tahun depan.
Apabila ekspektasi itu terealisasi, pound sterling berpotensi melanjutkan reli ke rentang yang lebih tinggi. Akan tetapi, beberapa analis juga menyuarakan keraguan mereka.
“Di sisi positifnya, bantuan ekstra yang ditawarkan kepada sejumlah konsumen semestinya meringankan setidaknya sebagian tekanan kenaikan biaya hidup yang telah mengancam pertumbuhan (ekonomi),” kata Dominic Bunning, Kepala Riset FX Eropa di HSBC Bank.
Perbaikan keyakinan konsumen dapat berkontribusi baik bagi perekonomian. Kendati demikian, Bunning mencatat sejumlah faktor yang dapat menekan GBP lagi. Pertama, pergeseran sentimen dan perilaku konsumen sebagai imbas dari kebijakan ini masih butuh waktu setidaknya satu bulan ke depan. Kedua, ada risiko dari penetapan pajak atas produsen energi dan memburuknya status utang Inggris.
“Dalam pandangan kami, GBP mungkin kesulitan menentukan arah hingga jelas bagaimana kebijakan fiskal baru ini berinteraksi dengan kebijakan moneter,” pungkas Bunning.
Kamal Sharma, pakar strategi FX BofA Merrill Lynch juga mengungkapkan kesangsiannya pada kemampuan paket stimulus Sunak untuk menjadi katalis Sterling. Katanya, “Kami tidak berpikir GBP akan dapat menyerap banyak manfaat dari pivot lanjutan dalam suku bunga Inggris. Sejumlah beban bagi ekonomi Inggris mungkin telah berkurang, tetapi kami ragu pengumuman (stimulus Sunak) ini adalah momen yang menentukan bagi dinamika pertumbuhan Inggris.”