Pasangan mata uang USD/JPY telah melambung sangat tinggi dibandingkan posisinya satu bulan yang lalu. Namun, jalur kenaikannya kini macet pada kisaran 134.40-an -rekor tertingginya dalam dua dekade-. Publikasi data inflasi AS yang eksplosif malam ini (10/6/2022) juga tak mampu mendorong USD/JPY menjebol ambang tersebut, karena adanya rumor tentang intervensi mata uang.
Para pejabat top dari jajaran pemerintah Jepang telah beberapa kali mengutarakan kekhawatiran mereka tentang imbas dari depresiasi nulai tukar yen terhadap perekonomian. Semua kekhawatiran itu dikesampingkan oleh bank sentral Jepang (BoJ) yang bersikeras mempertahankan suku bunga rendah demi mencapai target inflasi. Akan tetapi, situasi sepertinya mulai berubah. Pemerintah Jepang dan BoJ hari ini menyampaikan pernyataan bersama yang berfokus pada kekhawatiran seputar dampak dari pelemahan nilai tukar.
Masato Kanda, Diplomat Mata Uang Jepang, mengatakan kepada reporter bahwa Tokyo akan mengambil tindakan yang sesuai jika diperlukan. Hal itu diungkapkan seusai rapat dengan rekannya dari BoJ.
“Pada umumnya, jika Anda menengok kembali pada perilaku BoJ, jika mereka mengatakan mereka akan mengambil tindakan yang sesuai yang dipandang sebagai intervensi tingkat tinggi, mereka akan melakukannya sebelum intervensi fisik. Jadi, mereka telah melaksanakan sebaik mungkin yang mereka bisa untuk saat ini,” kata Adam Cole, kepala strategi mata uang di RBC Capital Markets.
Cole berpendapat komentar tersebut semestinya “membatasi” pergerakan USD/JPY dalam jangka pendek. Namun, ia menambahkan bahwa “dalam jangka panjang, sedikit sekali yang bisa mereka lakukan karena itu berhadapan dengan sikap kebijakan.”
BoJ di bawah kepemimpinan Haruhiko Kuroda menerapkan rezim suku bunga negatif demi menggenjot laju inflasi hingga mencapai target 2 persen, meskipun kebijakan itu mengakibatkan pelemahan nilai tukar yen. Laju inflasi Jepang telah mencapai 2.5 persen (Year-on-Year) pada April 2022, tetapi Kuroda menilai stabilitasnya dalam jangka menengah-panjang belum terjamin.
Apabila pemerintah dan BoJ sama-sama mulai khawatir pada dampak depresiasi yen yang berlebihan, ia akan terdesak untuk memilih tujuan yang akan diutamakan. Indikasi saat ini mengisyaratkan Kuroda akan mengutamakan target inflasi dan mempertahankan suku bunga rendah. Namun, masa jabatannya akan berakhir pada April 2023 dan penerusnya belum tentu memiliki prioritas yang sama.