Pound sterling dan euro mengalami penguatan paling besar di antara mata uang-mata uang mayor hari ini (26/4/2023). Para trader melepas aset-aset safe haven seiring membaiknya minat risiko pasar, sehingga dolar AS melemah dan memberi kesempatan bagi mata uang mayor lain untuk mengonsolidasikan reli bullish mereka.
Kurs dolar AS sempat menguat kemarin, karena kekhawatiran pasar terhadap gejolak perbankan dan prospek ekonomi telah memicu aksi risk-off. Namun, optimisme kembali menyeruak dalam perdagangan hari ini.
Saat berita ditulis pada awal sesi New York, EUR/USD telah mencetak level tertinggi harian pada 1.1095 dan GBP/USD kembali menguji ambang 1.2500. Padahal, tidak ada kabar baru berdampak besar apa pun dari Inggris dan Uni Eropa.
“Terlepas dari penurunan ekspektasi suku bunga terminal Bank Sentral karena (adanya) kekhawatiran atas stabilitas keuangan lintas Atlantik, pound telah hampir memulihkan semua penurunan kemarin, karena para trader FX berupaya melepas dolar hari ini,” ujar Simon Harvey, kepala analisis FX di Monex Europe, “Saya pikir apa yang kita lihat saat ini hanyalah aksi pasar keluar dari dolar dan mengurangi posisi long yang dibuat kemarin.”
Stuart Cole, kepala ekonom makro di Equiti Capital, berpendapat bahwa pasar merasa lebih tenang setelah memahami bahwa krisis perbankan tidak akan meluas. Sementara itu, positifnya kinerja keuangan beberapa perusahaan teknologi AS turut membantu meredakan kekhawatiran atas masa depan ekonomi negara adidaya ini.
“Puncak dari semua ini adalah sejumlah penurunan dalam permintaan untuk aset-aset safe haven seperti dolar, (sehingga) menguntungkan (mata uang) seperti sterling,” kata Cole.
Francesco Pesole, pakar strategi forex di ING, sependapat. Katanya, “Euro dan pound terus bergerak serentak tanpa (adanya) penggerak yang jelas untuk mendukung divergensi antara kedua mata uang saat ini, karena sebagian besar berita datang dari AS dan sisi dolar.”
Para pelaku pasar saat ini juga memiliki ekspektasi suku bunga yang lebih tinggi untuk Inggris dan Zona Euro daripada Amerika Serikat. Pasalnya, tekanan inflasi di kedua kawasan itu relatif lebih tinggi daripada negeri Paman Sam dan mungkin membutuhkan kenaikan suku bunga lanjutan dalam kurun waktu yang lebih lama.