Laporan Non-farm Payroll AS malam ini memberikan kejutan positif bagi para buyer dolar AS. Akibatnya, indeks dolar AS (DXY) meningkat lebih dari 1 persen menuju ambang 107.00 lagi. Sedangkan mata uang mayor yang menjadi rivalnya justru ambruk seketika.
US Bureau of Labor Statistisc (BLS) menyatakan bahwa perekonomian AS menambah 528k pekerjaan di luar sektor pertanian pada bulan Juli 2022. Jumlah itu teramat mengejutkan, karena berlipat dua dibandingkan estimasi konsensus yang hanya 250k.
Tingkat pengangguran AS dalam periode yang sama turun dari 3.6 persen menjadi 3.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan gaji mencapai 0.5 persen (Month-over-Month) dan melampaui ekspektasi sebelumnya. Semua ini mendukung klaim para pejabat AS bahwa negeri Paman Sam tidak sedang mengalami resesi.
Data tenaga kerja yang solid merupakan penanda laju inflasi akan tetap tinggi dalam periode mendatang. Desakan untuk kenaikan suku bunga sebanyak 75 basis poin lagi kemungkinan akan semakin berkumandang di FOMC.
“Kita punya pasar tenaga kerja yang sangat kuat. Ketika Anda menciptakan lebih dari 400 ribu target dalam bulan ini, (dan) itu bukanlah resesi),” kata Menteri Keuangan AS Janet Yellen beberapa waktu yang lalu.
Bagi para trader, kejutan seperti ini merupakan sinyal beli yang banyak dicari. Selaras dengan situasi, pasangan-pasangan mata uang mayor bergejolak hebat. Duet USD/JPY naik sampai lebih dari 1 persen, sementara EUR/USD dan GBP/USD sama-sama ambruk sampai hampir 1 persen.
“Perekonomian terbesar di dunia baru saja mematahkan ekspektasi dalam (laporan) tenaga kerja. Ini hanya akan memperkuat (pandangan) The Fed yang sedang mencari alasan untuk menaikkan suku bunga terus dan kekuatan dolar AS melonjak sesuai dengan (data) itu.”
Tak semua orang sepakat. Sebagian analis lain memilih untuk mengkritisi data NPF yang sama.
Richard Flynn dari Charles Schwab mengatakan bahwa data tenaga kerja AS tampaknya kuat, tetapi penggalian sedikit lebih dalam akan menunjukkan situasi yang beragam. Katanya, “Meski pengangguran tetap sangat rendah, penyebabnya bisa jadi (merupakan) partisipasi angkatan kerja yang rendah dan bukannya perekonomian yang moncer.’