Data ekonomi AS yang buruk justru mengatrol kurs dolar AS pada sesi New York hari Selasa (25/4/2023). Dolar AS menguat lebih dari satu persen terhadap dolar Australia, sementara indeks dolar AS (DXY) meloncat lebih dari 0.6 persen ke level 101.93.
Bursa saham AS berguguran menyusul perilisan sejumlah laporan yang mengecewakan dari sektor perbankan. Media melaporkan bahwa nasabah menarik lebih dari $100 miliar dana mereka dari First Republic Bank, setelah bank tersebut mengalami likuiditas dan terpaksa mencari bailout pada bulan lalu. Situasi ini membangkitkan kembali kecemasan pasar terhadap prospek gejolak perbankan yang semakin besar seiring dengan meningkatkan suku bunga The Fed.
“Kenaikan suku bunga membuat para deposan khawatir kalau bank-bank berukuran kecil dan menengah akan mengalami semakin banyak kesulitan, bahwa model bisnis mereka terlalu tergantung pada lingkungan berbunga rendah,” ujar Stuart Cole, kepala ekonom makro di Equiti Capital, “Risikonya adalah bahwa biaya pendanaan darurat terbukti terlalu mahal bagi bank-bank yang lebih kecil, dan pasar tak lagi menganggap mereka menguntungkan.”
Laporan Building Permits dan New Home Sales terbaru dari negeri Paman Sam menampilkan angka-angka yang cemerlang. Akan tetapi, laporan Indeks Keyakinan Konsumen (CCI) dan Indeks Manufaktur Fed Richmond justru mengompori aksi risk-off.
Data periode April 2023 menunjukkan sentimen konsumen AS terperosok ke level terendah sejak Juli 2022 pada level 101.3, atau meleset jauh dari estimasi konsensus yang dipatok pada 104.0. Dalam periode yang sama, Indeks Manufaktur Fed Richmond menggenapkan penurunan selama empat bulan beruntun pada level -10.
Para trader dan investor kembali berpaling pada aset-aset safe haven di tengah hujan kabar buruk ini. Konsekuensinya, dolar AS dan yen Jepang menjadi mata uang berkinerja terbaik di ranah mayor.
“Hari ini (pergerakan pasar) lebih berkaitan dengan sentimen risiko defensif, khususnya dalam ekuitas. Namun, sulit menemukan suatu tren yang kuat,” papar Vassili Serebriakov, pakar strategi FX di UBS New York, “Bias condong pada kelemahan dolar, tapi saya pikir sulit untuk menyaksikan tren yang menonjol sampai data AS (benar-benar) melemah secara substansial.”