Indeks dolar AS (DXY) terkoreksi tipis, tetapi bertahan dalam rentang tertinggi dua dekade pada atas level psikologis 104.00 pada sesi New York hari Jumat (13/5/2022). Greenback siap menggenapkan reli enam pekan beruntun, karena trader dan investor masih menyimpan banyak kekhawatiran terkait prospek perlambatan ekonomi global dan kenaikan suku bunga The Fed. Minat risk-off di pasar forex sedikit memudar, tetapi dolar AS masih menjadi aset safe haven favorit pasar saat ini.
Laju inflasi di berbagai negara tetap tinggi, meskipun sejumlah bank sentral telah mulai menaikkan suku bunganya. Data inflasi AS bulan April 2022 menunjukkan perlambatan dibanding periode sebelumnya, tetapi masih jauh lebih tinggi daripada harapan pasar. Kini muncul pula kekhawatiran kalau inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga The Fed bakal memicu terjadinya stagflasi di negeri Paman Sam.
Risiko perlambatan ekonomi global semakin mencuat bukan hanya lantaran kekhawatiran akan terjadinya stagflasi di AS. Perang Rusia-Ukraina terancam menjerumuskan Eropa ke dalam jurang resesi, sementara pemerintah China terus menjalankan lockdown ketat pada tiap wilayah yang mengalami kenaikan kasus COVID-19.
Tim dari University of Michigan melaporkan data preliminer hasil survei sentimen konsumen AS awal Mei yang menunjukkan keyakinan masyarakat semakin merosot ke level terendah sejak Agustus 2011. Pasalnya, masyarakat khawatir kenaikan inflasi bakal makin menggerogoti pendapatan riil mereka.
“Secara keseluruhan, kita masih menyaksikan pasar yang panik dalam sekitar 16 arah berbeda,” kata Joseph Travisani, analis senior dari FXStreet.com, “Ekuitas (panik), mereka khawatir tentang pertumbuhan AS tahun ini, Eropa tampak sukar diprediksi jika diungkapkan dengan lunak, dan China bersikeras mempertahankan kebijakan COVID yang fanatik, tak ada satu pun diantaranya merupakan gelagat baik bagi perekonomian global, sehingga Anda masih menyaksikan banyak orang mengandalkan dolar dalam peran pengamanan tradisionalnya.”
Ketua The Fed Jerome Powell pada hari Kamis malam mengakui akan adanya “sejumlah rasa sakit” dalam upaya untuk mengendalikan inflasi, seiring dengan meningkatnya suku bunga. Namun, ia menilai situasi yang lebih buruk akan terjadi jika harga-harga terus melaju naik tanpa respons kebijakan dari bank sentral.